RSS

cerpen_1


NAMANYA ITU NIDA

 Merapali kesunyian malam yang selalu menyapa gelisahku. Suara-suara jangkrik menambah kesan sendiri yang tak kunjung bercerai dari suasana malam. Kamis malam yang kuawali dengan delapan puluh tiga ayat untuk segala keluarga seimanku. Ummi sepertinya masih sibuk menyendokkan butir nasi yang diramu seadanya lauk sore tadi kepada si kecil Fatimah. Sementara Abi masih betah menyeruput kopi hangat ditemani buku setebal lima sentimeter. Mbak Nur membenarkan letak jilbabnya karena ada seseorang yang mengetuk pintu. Aku. Belum beranjak dari jendela yang menawarkan pemandangan andromeda. Senyumku menyimpul sambil mengetik huruf-huruf terangkai. Lalu kububuhi tanggal hari ini. Kupilih beberapa nama pemilik belasan nomor di kontak handphoneku. Send. Kembali berkonsentrasi dengan gemintang yang sebelas tahun yang lalu diceritakan Kak Zen.
***
“Kamu tahu itu apa, Nin?” Suara Bass itu sudah cukup kukenal tanpa harus kutemui wajahnya.
“Langit. Gelap yah kak.” Jawabku sambil tersenyum.
“Hhehe. Bener itu langit, tapi yang itu maksud kakak.” Lelaki itu membuka daun jendela disebelahku sambil menunjukkan kerlap-kerlip itu.
“Namanya masih gemintang kan? Seperti ceritamu waktu Nida masih tujuh tahunan.” Aku berusaha membalas ejekannya itu.
“Ternyata masih mengingat dongeng itu, Nin?” Tatapan lelaki itu masih bersudut sembilan puluh derajat radiannya.
“Sedikit.” Singkatku kemudian berlalu menuju dapur.
Entah mengapa lelaki itu selalu mengunjungi rumah kecil ini setiap aku meneropong telanjang mata gemintang yang bersandar pada langit agung itu. Sesekali dia menyapaku tentang kebiasaan ‘aneh’ku atau sekedar mengantarkan lembar rupiah kepada Ummi yang menitipkan jajanan pasar di toko kepunyaan kedua orang tuanya. Dia seumuran Mbak Nur namun sangat enggan bercengkrama dengan kakak perempuanku itu. Kata lelaki beralis tebal itu, Mbak Nur kaku. Serba serius dan terkadang mengeksklusifkan diri. Aku pikir itu bukan alasan utama. Mungkin dia lebih suka menjahiliku dengan dongeng-dongeng yang membuatku mengangguk-anggukkan kepala ketika aku mengetahui teori-teori baru.
***
“Nin, ingin ku beritahu tentang tasbih semu?” Kak Zen membututiku.
Aku menemukan kedua mataku dengan menyerngitkan dahi. Dia hanya tersenyum lalu memindahkan segelas teh hangat yang baru saja kuseduh ke tangan kekarnya.
“Aku baru mempelajarinya. Sekolah mengirimkan beberapa siswa untuk seminar. Kebetulan aku turut hadir.” Luapan katanya kaya semangat.
Aku tersenyum lalu meraih daun jendela kembali. Kudengarkan pengantar ceritanya yang bertabrakan dengan suara bujukan Ummi kepada Fatimah. Alasan dia terpilih dalam kegiatan itu dan kesannya terhadap penyelenggaraan seminar tentang sains dan al-quran yang dipredikatinya inspiratif. Kemudian dia memulai lagi penjelasan yang selalu dihadiahkannya sejak tiga bulan yang lalu. Tak terasa, tiga bulan sudah aku tak mengunjungi bangku-bangku cengkrama. Papan hitam dan debu putih yang berjatuhan satu-persatu atau sekedar melepas kepenatan mencerna teori-teori dan eksakta dengan memainkan bola basket dengan teman-temanku.
Sekarang, Kak Zen yang lebih sering menggantikan tugas guru yang telah dilunasi Abi komitenya pada awal tahun ajaran. Kak Zen sering mengajariku banyak hal yang harusnya kudapatkan di sekolah. Semenjak kecelakaan kecil yang berpengaruh besar pada september lalu aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah-halaman-rumah(lagi). Ditemani dua tongkat itulah aku belajar makna ikhlas. Sekolahku, basketku, klub pecinta alamku perlahan kurelakan untuk beranjak dari memori indah. Sekitarku agaknya berubah seiring dengan perubahan fisikku yang cukup menyulitkan di awal cerita. Namun, tak begitu dengan Kak Zen. Entah apa alasannya. Dia memang tak pernah melewatkan Nin-nama panggilan darinya kepadaku yang tak pernah ku tahu juga alasannya- melalui malam sendiri dengan otak yang kosong tanpa pengetahuan populer yang biasa menjadi santapanku kala itu. Soal nama, aku sering sekali ingin mengetahui mengapa Kak Zen memanggilku dengan nama itu, tapi Kak Zen selalu menyimpannya hingga aku lelah mencari alasan lelaki keras itu.
Ditengah lamunanku bergelantungan teratur dan berhiaskan pandang bintang yang tak pernah bosan menatap binar sayuku, lelaki itu kembali memalingkan pandanganku ke arah selatan tempatnya bersandar dekat pintu yang diguyuri angin malam.
“Nin, pernah kau mendengar bahwa bumi, langit dan segala yang ada dinaungannya bertasbih memuja Tuhan?” Kak Zen masih berpuitis ria dalam berceramah.
“Tentu. Tapi, tak mampu kudengar gaungnya, Kak.” Aku meminta penjelasan lebih darinya.
“Wallahu’alam, Nin. Mungkin, kerlipnya itu yang bertasbih.”
Kini kakinya melangkah mendekat menuju jendela di sebelahku.
“Mengapa kita sering melupa, padahal apalah arti sebuah bintang dibanding akhsanul takwim ujarNya pada baris paling indah itu?”
Air mataku larung dalam pedih hati. Betapa zholim diri yang sempat tak mau bertatap dengan segala manusia karena kaki yang diuji. Tiga bulan bukan waktu yang mudah untuk Ummi dan Abi menjelaskan kepadaku tentang muhasabah. Keaktifanku pada klub pecinta alam memang mengisahkan ukiran baru dalam kehidupan. Annida Basri yang dulu berteman tongkat sebagai penahan keseimbangan saat menjelajah hutan dan medan-medan ektrim lainnya kini bersahabat dengan tongkat untuk menggantikan fungsi kaki kirinya.
11 Januari 2001
Aku akan sekolah lagi ^_^
***
Kututup sebuah buku hikmah yang baru saja kubacakan pada Zahra, anak yang saat ini kurawat dengan segala cinta. Ibunya meninggal beberapa minggu yang lalu setelah mengalami keguguran. Piatulah bocah berumur tiga tahun sepuluh hari itu. Aku sudah lima tahun ini bekerja untuk keluarga dr. Zen Ferdian. Sebuah keluarga yang mengajariku arti melengkapi. Pak Zen yang saat ini sedang bertugas di medan konon bernama Gaza mengharuskanku prima dalam menjaga kedua malaikatnya ini. Sebelum izroil menarik ruhnya, Bu Nida menitipkan diarynya semasa remaja hingga kini untuk bekal Zahra kalau-kalau beliau tak menghembus nafas dalam tahun-tahun yang menuakan buah hati mereka. Tak heran jika Pak Zen mencintai Bu Nin-yang belakangan kuketahui singkatan Namanya Itu Nida- tak berbatas fisik, karena sungguh ketegarannya melebihi karang yang pernah menghantam kaki kuatnya.

26 Januari 2012
(20:13 - 22:30)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
R.aut senja dekap Sang Bunda O.nak menari dahi Sang Ayah U.ngkap makna dalam cerita N.ilai budi dalam berkata N.isa rabu dalam purnama I.ngin gapai bintang dalam kerikil tajam S.aat surya berdamping hujan A.tau pelangi bersinar kala malam menyapa A.ntara rindu.rindu yang mengkristal M.eminjam puisi di sepertiga malam I.roni bercermin dalam fatamorgana N.yanyian subuh dalam dzikir Y.ang bertarung dalam indah dunia

Pengikut